KESADARAN MANUSIA
MENURUT
JEAN-PAUL SARTRE
Pendahuluan
Pertanyaan tentang apakah
manusia merupakan pertanyaan yang tiada henti-hentinya digarap oleh para
filsuf, salah satunya Jean-Paul Sartre. Sartre melihat manusia berada dalam
konflik eksistensial antara Ada dan Tiada. Sartre adalah seorang filsuf
eksistensialis Perancis. Eksistensialisme merupakan filsafat yang bergulat
dalam perkara eksistensialis, khususnya eksistensi manusia. Sartre menyatakan
bahwa eksistensi tersebut mendahului esensi. Menurut Sartre, manusia lebih
tinggi derajatnya dari pada entitas lainnya, karena manusia tidak memiliki
kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Manusia seperti entitas lainnya, juga bereksistensi. Namun, eksistensi manusia
berbeda karena memiliki kesadaran. Kesadaran menjadi dasar pemikiran eksistensialisme
Sartre.[1]
Riwayat Hidup Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada
tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut Perancis dan ibunya, Anne
Marie Schweitzer. Ayahnya meninggal dua tahun sesudah kelahiran Sartre. Setelah
ayahnya meninggal, ibunya dan Sartre kembali ke rumah ayahnya, Charles
Schweitzer, seorang guru bahasa Jerman, di Meudon. Dalam bukunya Les Mots (Kata-Kata), 1964, Sartre
mengungkapkan bahwa sejak usia dua belas tahun ia sama sekali tidak percaya
lagi akan adanya Allah, meskipun Sartre dibaptis dan dibesarkan secara Katolik.
Kesusastraan menjadi agama baru bagi dia. Dunia kecil Sartre adalah perpustakaan
kakeknya. Sartre bercita-cita bisa menjadi seorang pengarang yang besar. Pada
tahun 1924, ia masuk di Ecole Normale
Superieure, yakni perguruan tinggi paling terkemuka di Perancis. Pada tahun
1929, ia berhasil meraih Agregation de
Philosophie sebagai nomor satu.[2] Sartre banyak menulis karya sastra
seperti La Nausee (Muak), 1938, Les Mouches (Lalat-lalat), 1943, Huis Clos (Pintu-pintu tertutup), 1944,
Roman Les Chemins de la leberte
(Jalan-jalan kebebasan), 1945-1949, L’Existentialisme
est un humanisme (1946), Critique de
la raison dialectique,(1960). Sartre meninggal dunia pada tanggal 15 April
1980.[3]
Corak Pemikiran Jean-Paul Sartre
Sartre sejak kecil hidup
dalam lingkungan religius. Tetapi, justru kebalikannya ia anti dengan agama dan
Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Corak filsafat Sartre
dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Idealisme, yakni dari Descartes, Kant, Hegel
sampai fenomenologi Husserl serta Martin Heidegger. Filsuf-filsuf tersebut
sangat penting nilainya bagi Sartre, namun dalam tulisannya, ia kerap
melontarkan kritik-kritik terhadap mereka. Husserl, Heidegger dan Hegel
mempunyai peran penting dalam karya utama Sartre, yakni ‘Being and Nothingness’, yang berusaha memahami eksistensi manusia.[4]
Sartre membangun gagasan
filsafatnya tahap demi tahap. Tahap pertama,
gagasannya mengandung corak pemikiran fenemenologi yang dikaitkan dengan
psikologi dan dipengaruhi oleh gagasan Husserl dan Heidegger. Misal, karyanya
tentang L’Imagination (1936). Dalam
karya tersebut, Sartre secara penuh berhubungan dengan Husserl tentang analisa
terhadap kesadaran. Sartre menerangkan perbedaan antara persepsi dan kesadaran dengan
menggunakan filsafat Husserl mengenai kesadaran intensional. Tahap kedua, terbit karya utamanya Being and Nothingness (1943). Dalam
karya ini, Sartre menggunakan analisa Heidegger tentang ‘Dasein’ untuk memperkenalkan kesadaran manusia. Dalam tahap ketiga, terdapat perubahan dalam
pandangan Sartre. Ia condong ke Marxisme. Dalam tahap ini, karyanya yang
penting adalah Critique de la raison dialectique
(1960). Ia mengkritik dialektika Marx, bahwa Marxisme perlu belajar kepada
eksistensialisme agar dapat memandang individu sebagai kebabasan.[5]
Pengaruh dan Kritik terhadap
Fenomenologi Husserl
Sartre banyak dipengaruhi
oleh fenomenologi. Fenomenologi adalah ilmu tentang gejala-gejala yang tampak
atau ilmu tentang fenomen-fenomen yang menampakkan diri kepada kesadaran
manusia. Fenomenologi menaruh perhatian pada makna. Tesis umum fenomenologi
menyatakan bahwa manusia harus dipandang sebagai makhluk yang memberi makna.[6]
Fenomenologi menekankan bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran tentang
sesuatu. Kesadaran bersifat intensional. Dunia menjadi dapat dipahami karena
adanya kesadaran. Kesadaran dapat memaknai dunia meskipun kesadaran tidak
menciptakan dunia.[7]
Fenomenologi Husserl
adalah fenomenologi transendental, yang menyatakan bahwa kesadaran bukan bagian
dari kenyataan melainkan sebagai asal kenyataan. Menurut Husserl, kesadaran
tidak menciptakan objek-objek, namun objek-objek diciptakan oleh kesadaran.[8]
Pengaruh fenomenologi
Husserl pada Sartre dimengerti dalam arti ganda. Pertama, Sartre memahami fenomenologi sebagai metode yang
menekankan fenomena atau tampaknya sesuatu. Kedua,
Sartre beranggapan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional yang terarah
pada sesuatu di luar dirinya.[9]
Sartre mengkritik
fenomenologi Husserl berkaitan dengan konsep tentang ego dan kesadaran yang
tidak dihubungkan dengan dunia. Menurut Husserl, kesadaran bersumber dari ego transendental.
Transendental karena ego tidak ditemui dalam pengalaman melainkan menjadi
syarat pengalaman. Kesadaran mensyaratkan adanya ego yang menyadari sesuatu.
Sartre menolak gagasan Husserl tersebut. Sartre menyatakan bahwa kesadaran
berbeda dengan benda-benda karena kesadaran adalah kekosongan. Artinya, ego pun
harus dikeluarkan dari kesadaran. Ego menurut Sartre adalah bagian dari dunia
objek-objek.[10]
Gagasan Mengenai Eksistensialisme
Eksistensialisme
mendasarkan diri pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip fenomenologi. Fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar.
Eksistensialisme menyatakan bahwa aku ini bukan apa-apa selain eksistensi
sadarku sendiri. Eksistensialisme memusatkan perhatian pada subjek dan
menandaskan pentingnya keterlibatan subjek dalam pengalaman manusia.[11]
Eksistensialisme Sartre terungkap dalam pernyataan bahwa eksistensi mendahului
esensi. Artinya, menekankan eksistensiku sebagai subjek berkesadaran, bukan
mengutamakan esensi yang berlaku pada diriku, seperti definisi mengenai aku dan
segala penjelasan mengenai aku melalui berbagai ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, eksistensialisme menggarap persoalan mengenai manusia konkret, lokal
dan bukan manusia abstrak, konseptual atau pun universal.[12]
Sartre menyatakan bahwa terdapat Ada yang transenden.
Sartre menunjukkan Ada dalam dua bentuk, yaitu etre-en-soi (being-in-itself; ada-pada-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself;
ada-bagi-dirinya).[13]
Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya.
Etre-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, dan tidak negatif.
Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan
atau pun tujuan. Etre-en-soi sama sekali kontingen, artinya ada begitu saja,
tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang
lain.[14]
Etre-en-soi disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada
eksistensinya. Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan
dirinya sendiri.[15]
Etre-pour-soi (being-for-itself) bukanlah benda dan berbeda secara
radikal dengan etre-en-soi. Etre-pour-soi memiliki ciri khas negativitas.
Menurut etre-pour-soi, kesadaran berarti suatu jarak, distansi, non-identitas. Etre-pour-soi
adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa
‘ketiadaan’. Aktivitas etre-pour-soi adalah ‘menidak’ apa yang ada. Sartre
menyimpulkan bahwa ‘ketiadaan’ muncul dengan ‘menidak’ dunia.[16]
Jika dibandingkan kedua cara
berada tersebut, etre-en-soi sama sekali
tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai
relasi dengan etre-en soi, yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai
keinginan untuk berada sebagai etre-en-soi, yakni mempunyai identitas dan
kepenuhan Ada.[17]
Gagasan Mengenai Kesadaran Manusia
Sartre mengungkapkan bahwa keberadaan
manusia pada dasarnya keberadaan yang terlempar begitu saja tanpa manusia
pernah menghendakinya. Sartre melihat tidak ada yang lebih menakjubkan dalam
hidup ini selain gejala kesadaran. Kesadaran manusia menurut Sartre adalah
kekosongan. Alasannya, pertama,
karena kesadaran adalah kesadaran diri. Kesadaran bisa melepaskan dirinya dari
objek-objek sehingga menyadari bahwa dirinya bukan objek-objek tersebut. Kedua, kesadaran adalah kekosongan
karena dunia seluruhnya berada di luar dirinya.
Sartre mengungkapkan
adanya tiga sifat kesadaran manusia. Pertama,
kesadaran bersifat spontan. Artinya, ia dihasilkan bukan dari ego atau
kesadaran lain. Ia menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut. Artinya, kesadaran tidak menjadi
objek bagi sesuatu yang lain. Ketiga,
kesadaran bersifat transparan. Artinya, kesadaran mampu menyadari dirinya.
Kesadaran diri merupakan eksistensi manusia yang membedakannya dengan
eksistensi benda-benda. Manusia mempunyai kemampuan menyadari dirinya. Dunia
benda-benda membantu dalam pencapaian kesadaran diri manusia. Tanpa adanya benda-benda
(etre-en-soi), maka kesadaran diri manusia tidak mungkin tercapai.[18]
Sartre juga membedakan gagasan kesadaran
manusia dalam kesadaran pra-reflektif
dan kesadaran reflektif. Kesadaran
pra-reflektif adalah kesadaran yang langsung terarah kepada objek tanpa usaha
untuk merefleksikannya. Kesadaran pra-reflektif disebut juga sebagai kesadaran
yang tidak-disadari karena subjek tidak sengaja memberi perhatian pada objek
dan proses kesadaran. Misalnya, ketika saya membaca buku, kesadaran saya tidak
terarah pada perbuatan saya yang sedang membaca, melainkan pada bahan (isi
buku) yang sedang saya baca. Kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat
kesadaran yang tidak-disadari menjadi kesadaran yang disadari. Dalam kesadaran
reflektif, subjek merefleksikan apa yang disadarinya. Misalnya, dalam kesadaran
reflektif, kesadaran saya tidak lagi terarah pada buku yang tadi saya baca,
melainkan pada perbuatan saya ketika tadi saya membaca buku.[19]
Pada umumnya orang mengarahkan kesadarannya pada objek,
bukan pada diri dan apa yang diperbuatnya. Kemudian, manusia memahami diri dan
tindakan-tindakannya dengan kesadaran reflektif. Dengan merefleksikan apa yang
diperbuatnya, manusia dapat memahami makna dari tindakan-tindakannya dan
membawanya kepada pemahaman tentang dirinya. Dengan kesadaran reflektif,
manusia menjadikan dirinya tidak hanya sebagai makhluk yang larut dalam objek,
tetapi menyadari mengapa ia menanggapi suatu objek dan mengabaikan yang lain.[20]
Relevansi Pemikiran Sartre
Sartre ingin menekankan bahwa keberadaan
manusia di dunia memiliki berbagai kemungkinan untuk mencapai kepenuhan
eksistensinya. Kelebihan manusia dari makhluk lain adalah manusia selalu
memiliki pilihan dan berkemampuan untuk memilih. Manusia tidak diarahkan oleh
sesuatu di luar dirinya. Manusia sendirilah yang menggerakkan dirinya,
menentukan apa yang akan diperbuatnya dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah
diperbuatnya.[21]
Kesadaran manusia didasari oleh keberadaan dirinya yang
memiliki begitu banyak kemungkinan untuk memaknai dunia dengan pelbagai cara.
Keberadaan manusia adalah etre-pour-soi (ada-bagi-dirinya). Maka dari itu,
manusia bisa mengarahkan dirinya kemana saja, melakukan apa saja dan menjadi
apa saja. Keberadaan atau eksistensi manusia memungkinkan dirinya memilih
sesuatu berdasarkan kebebasannya.[22]
Kesadaran manusia membuat
dirinya tidak pernah ‘terbendakan’. Artinya, manusia tersebut bebas. Sartre mengungkapkan esensi dari kesadaran adalah
kebebasan. Sartre seringkali menggunakan istilah kebebasan, seakan-akan
kebebasan sinonim dengan kesadaran. Maka dari itu, timbul kesan bahwa kesadaran
yang dicetuskan Sartre identik dengan kebebasan.[23] Selanjutnya, persoalan yang muncul
ialah bagaimana ketika satu manusia bebas berhadapan dengan manusia bebas yang
lain? Menurut Sartre, perjumpaan antara dua manusia bebas akan menghasilkan
konflik, karena yang satu pasti akan mengobjekkan yang lain untuk mempertahankan
kesubjekannya. Kebebasanku ditentang oleh kebebasan orang lain. Demi
mempertahankan kebebasan diriku, aku harus membendakan orang lain.
Pandangan kebebasan
Sartre tampaknya cukup ekstrem karena relasi manusia dengan orang lain justru
menimbulkan konflik. Namun, tetap ada unsur positif dari pandangan tersebut.
Unsur positif dari kebebasan tersebut terletak pada eksistensi manusia,
keberadaan manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan
bebas manusia. Sartre mengungkapkan
bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan
menentukan sendiri bentuk eksistensi kita. Walaupun kesadaran atau kebebasan
tersebut sepertinya ‘dibebankan’ pada manusia yang bukan karena pilihannya,
manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi
tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh diri
manusia sendiri. Situasi yang dibebankan kepada manusia, misalnya : berupa
lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau pun peperangan, justru menjadi
prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa
situasi-situasi yang sudah tersedia atau situasi-situasi yang tidak dipilihnya
sendiri.[24]
Jean-Paul Sartre mendedikasikan hidupnya
untuk mengungkap apakah manusia itu. Dedikasi Sartre terbukti dengan dihasilkan
banyak tulisan tentang manusia, tidak hanya dalam bidang filsafat namun juga
dalam karya novel, roman, drama dan sebagainya. Karya-karyanya meyakinkan
manusia bahwa mereka adalah makhluk yang menakjubkan. Manusia memiliki
kesadaran yang sebebas-bebasnya untuk memaknai keberadaan dirinya di dunia.
Sartre mengajak manusia untuk menyadari bahwa kebebasan yang dimiliki manusia
sungguh-sungguh absolut. Gagasannya tentang kebebasan ini menjadikan dirinya
dipandang sebagai seorang ateis. Sartre mengatakan : “Seandainya Tuhan ada,
tidak mungkin saya bebas”. Sartre memandang Tuhan sebagai Tuhan yang mahatahu,
Ia mengetahui segala sesuatu sebelum saya melakukan sesuatu, sehingga tidak ada
peluang bagi kreativitas kebebasan manusia.
Penutup
Sartre tampaknya memandang manusia secara
negatif. Manusia dengan kebebasannya siap memangsa sesamanya. Sesama menjadi
obyek yang tampil untuk memuaskan kebutuhan manusia. Manusia juga sadar bahwa
dirinya pun setiap saat bisa dijadikan objek oleh sesamanya. Sartre mempunyai
pandangan yang pesimis terhadap hidup manusia karena latar belakang hidupnya
dipenuhi dengan bayang-bayang perang, kekejaman dan penyalahgunaan kebebasan. Peristiwa
tersebut menimbulkan kemuakaan dalam diri Sartre. Peristiwa tersebut mendorongnya
untuk memperjuangkan eksistensi manusia agar tidak diinjak-injak oleh sesamanya
sendiri. Ia hendak mengajak manusia untuk menyadari bahwa sesamanya hadir
sebagai subyek yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia – Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis. Jakarta : Gramedia. 1996.
Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta : Jalasutra. 2006.
Garvey, James. 20 Karya
Filsafat Terbesar. Yogyakarta : Kanisius. 2010.
Muzairi, H., Drs., MA. Eksistensialisme Jean Paul Sartre – Sumur
Tanpa Dasar Kebebasan Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002.
Ryadi, Agustinus, DR. Diktat
Filsafat Barat Kontemporer. Malang : Sekolah Tinggi Widya Sasana. 2006.
Sartre, Jean Paul. Kata-kata, (terj. Jean
Couteau), Jakarta : Gramedia dan Forum Jakarta – Paris. 2001.
Takwin, Bagus. Kesadaran Plural : Sebuah Sintesis Rasionalitas dan Kehendak Bebas.
Yogyakarta : Jalasutra. 2005.
[1] Donny Gahral Adian, Percik
Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta : Jalasutra, 2006), hlm. 162.
[2] K. Bertens, Filsafat
Barat Abad XX, Jilid II Prancis (Jakarta : Gramedia, 1996), hlm. 81-83.
[3] Dr. Agustinus Ryadi, Diktat
Filsafat Barat Kontemporer (Malang : Sekolah Tinggi Widya Sasana, 2006),
hlm. 22.
[4] Drs. H. Muzairi, MA. Eksistensialisme
Jean Paul Sartre – Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 77-78.
[5] Ibid, hlm. 79-81.
[6] Dr. Agustinus Ryadi, Op.Cit.,
hlm. 6.
[7] Donny Gahral Adian, Op.
Cit., hlm. 162.
[8] Dr. Agustinus Ryadi, Op.Cit.,
hlm. 7.
[9] Prof. DR. Alex Lanur dalam Jean Paul Sartre, Kata-kata, (terj. Jean Couteau),
(Jakarta : Gramedia dan Forum Jakarta – Paris, 2001), hlm. xv.
[10] Donny Gahral Adian, Op.
Cit., hlm. 163.
[11] Dr. Agustinus Ryadi, Op.Cit.,
hlm. 21.
[12] Ibid
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Alex Lanur, Op.Cit.,
hlm. xvi.
[16] K. Bertens, Op. Cit.,
hlm. 95.
[17] Ibid., hlm. 96.
[18] Donny Gahral Adian, Op.
Cit., hlm. 165.
[19] Bagus Takwin, Kesadaran
Plural : Sebuah Sintesis Rasionalitas dan Kehendak Bebas (Yogyakarta :
Jalasutra, 2005), hlm. 42. Zainal Abidin, Filsafat
Manusia – Memahami Manusia melalui Filsafat (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2000), hlm. 184.
[21] Ibid
[22] Ibid., hlm 41.
[23] Zainal Abidin, Op.Cit.,
hlm. 186.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda. Tuhan Memberkati!